Bicara soal kaum intelektual, bisalah kita melihat gejala-gejala yang timbul di masyarakat, terbesit pemikiran. Pemikiran tentang pentingnya kadar intelektualitas seseorang dalam menyampaikan apa saja yang ada di benaknya. Mengapa harus dikatakan penting, karena dari kenyataan yang ada kita disuguhi ‘tontonan’, betapa kaum yang mengaku dari golongan intelek begitu percaya untuk menyampaikan ataupun memberikan masukan kepada bangsa ini untuk keluar dari permasalahan-permasalahan yang mendera.

Photo by Alexandre Pellaes on Unsplash
Sebenarnya bukan saat ini saja para intelektualis dipercaya memberikan sumbang saran bagi kepentingan umum. Dari jaman kerajaan-pun hal ini sudah dilakukan. Contohnya, seorang raja yang sangat percaya kepada para cendikiawan. Mereka dipercaya kerena potensinya masing-masing yang mencoba untuk berpikir bedasarkan proses sebab-akibat. Kalau keadaan begini, maka akibatnya begitu. Kalau keadaan begitu, maka akibatnya begini.
Di zaman sekarang ini kita juga dapat melihat bahwa, tak diminta oleh siapapun, makin banyak saja yang dengan kesadaran penuh mempraktekkan dirinya sebagai bagian dari kaum intelek. Kaum dengan tingkat intelektual di atas rata-rata. “Dari indikasi yang ada, kita diharapkan dapat meng-implementasi-kan potensi kita ke dalam proses bergaining. Sehingga tidak terjadi setback yang tak diharapkan, menyusul adanya distorsi dalam sistem yang sudah dikonfirmasikan bersama”, begitu kata salah satu pengamat sosial politik.
Lalu biasanya orang yang kebetulan ada di sekelilingnya pun dengan semangat menimpali, “Benar apa yang dikatakan teman saya ini. Dalam mencapai tingkat pengkristalan sistem, setiap personal diharapkan dapat mempertahankan kekonsistennannya sebagai elemen sistem tersebut. Bahkan, dalam rangka memulai step-step selanjutya, kausa-kausa yang telah lalu cenderung dapat kita jadikan plafond dalam menghitung kadar kesatuan atribut-atribut sistem”. Lalu decak kagum diiringi hiasan tepuk tangan, menggema di ruangan sebuah seminar.
Dengan tema “Mari Memberantas Kebutaan Politik”, seminar itu dapat menjadi contoh betapa pintarnya kaum intelektual itu. Betapa pemikiran-pemikiran mereka selalu menggunakan prosedur keilmupengetahuan. Lontaran pendapat ataupun teori seakan merupakan solusi prima dalam menyelesaikan masalah. Atau merupakan masukan terbaik mengenai sebuah masalah.
Tapi rasa-rasanya kita sudah sangat sering mendengar atau menyaksikan sendiri banyaknya diskusi-diskusi maupun seminar-seminar yang intinya mencari jalan keluar masalah yang dialami masayarakat luas. Tentang kelaparan, tentang perbankan, atau mungkin tentang seks bebas. Dan nyata-nyata dalam pandangan kita, kemiskinan tak kunjung habis. Krisis tak kunjung hilang. Dan moral tak kunjung baik.
Padahal, kalau kita simak di kehidupan sehari-hari, di Indonesia kita ini, begitu banyak para ahli yang dipercaya sebagai kaum intelektual. Kaum yang dengan serta-merta selalu mengeluarkan ‘kata-kata kuncian’ agar mendukung prediksi ataupun opini tentang bagaimana membawa Indonesia ke dalam keadaan yang lebih cerah. Lalu apa yang salah, siapa yang salah?
Rasanya sulit melihat siapa yang salah. Karena yang kita ketahui, bahwa para pecinta intelektualitas diakui sebagai orang-orang yang akan mengabdi kepada masyarakat. Mengabdikan ilmu yang sudah terlalu menumpuk di kepala untuk kepentingan masyarakat. Bukan untuk kepentingan diakuinya mereka di mata masyarakat.
Maka ada baiknya mereka yang mengaku berintelektualitas tinggi tidak hanya fasih melontarkan kata dengan kadar intelektual, tapi juga fasih melontarkan kata berdasarkan hasil pemikiran mereka sebagai intelektual sejati. Sehingga masyarakat tak termakan indikasi-indikasi, implementasi, bergaining, step, konfirmasi, setback, atau apa saja yang justru membuat mereka merasa sebagai orang paling bodoh. Atau memang masyarakat kita memang sudah terbiasa dibodoh-bodohi dan saling membodohi? *