Produksi Konten Digital Jangan Jalan di Tempat

Industri kreatif sedang berjalan pada dimensi baru, utamanya yang berkaitan erat dengan produksi konten digital. Ragam wadah yang mengakomodir arus deras terbarukan ini juga sudah menggurita. Dari urusan konten menghibur dan informasi di platform media sharing, hingga perkara jualan di marketplace.

content creator yogasdesign

Tentu bagi yang berpikiran progresif, hal ini adalah kabar menggembirakan. Dan sebaliknya bagi mereka yang tejebak dalam patron konservatif, hal ini menjadi kabar yang membuat gamang. Bahkan tak sedikit yang mengalami post power syndrome. Di mana kejayaan masa lalu dalam industri kreatif perlahan sudah tak digubris publik.

Cara berbisnis juga tak lepas dari dinamika ini. Bukan sekadar itu, tapi perkembangan teknologi mendorong bermunculannya disiplin ilmu baru yang berdampak pada kehadiran profesi-profesi baru dan redefenisi beberapa profesi. Kebutuhan tenaga kerja makin variatif. Seperti content creator, social media strategist, digital marketing specialist, hingga UI-UX designer.

Bisa jadi ini berkaitan dengan apa yang terungkap dalam Future of Jobs Report 2018 dari World Economic Forum 2018. Dalam Laporan ini diungkapkan bahwa masyarakat digital akan membawa inovasi, dan teknologi baru, termasuk otomatisasi dan algoritma, menciptakan pekerjaan baru berkualitas tinggi dan sangat meningkatkan kualitas pekerjaan dan produktivitas pekerjaan manusia yang ada.

Business Model Mix
Melakukan produksi konten digital yang hasilnya diminati publik pada dasarnya juga bukan hal yang mudah. Hukum ini berlaku untuk semua proses penghasilan konten dari masa ke masa, tidak mudah. Ya, membaca selera dan keinginan audiens yang menjadi pasar memang selalu jadi pekerjaan rumah yang takkan pernah selesai.

Setiap zaman punya cara sendiri untuk berkembang, setiap era memiliki kecenderungan selera yang tak sama dengan era-era sebelumnya. Tapi kejelian insan penghasil konten dalam membaca keinginan audiens punya prinsip dasar kerja yang relatif seragam, berpikir kreatif di alam kreatif.

bisnis digital yogasdesign

Photo by Yogas Design from Pexels

Yang juga menjadi perhatian krusial adalah bagaimana produk-produk konten digital dapat menelurkan business model yang adaptif terhadap laju perubahan dalam industri kreatif itu sendiri. Bahkan, tantangan terbukanya adalah bagaimana menciptakan business model mix yang menyokong terbentuknya ekosistem dari konten-konten yang dibuahkan.

Prof. Josep Valor, profesor teknologi informasi di IESE Business School yang berpusat di Spanyol mengingatkan, “Beberapa cara berbisnis dapat dicampurkan. Faktor teknologi yang berkembang tetap harus disatukan dengan faktor-faktor kunci dari karakter bisnis yang dijalankan. Seberapapun canggihnya teknologi digital yang dijalankan, jika pengetahuan dasar tentang bisnis yang dijalankan tidak dipahami, justru akan membuahkan kegagalan.”(*)

Digital Content Ecosystem
Istilah Digital Content Ecosystem mungkin belum akrab di telinga publik. Tapi ide ini menjadi menggeliat bersamaan dengan melebarnya peluang yang dihasilkan pada produksi konten digital. Untuk menguraikannya, bisa dimulai dengan memilih cara berbisnis yang tepat agar menjadi pondasi bagaimana produk utama yang dijalankan menjadi penghasil benefit.

Misalnya satu perusahaan mempunyai potensi konten digital berupa video production, maka tentukan bagaimana audiens dapat menikmati hasilnya dan dari mana perusahaan meraih keuntungan darinya. Apakah melalui sistem premium subscribe berbayar, digital download, atau sesederhana mengandalkan programatic ads di saluran media sharing seperti Youtube.

Setelah menentukan metode dalam menjalankan bisnis dari produk utama, lalu pikirkan bagaimana konten-konten yang diproduksi dapat di-generate untuk menjadi beberapa sub-konten. Proyeksikan apakah ada peluang setiap sub-konten punya saluran bisnisnya sendiri? atau justru sama dengan konten utama? Mungkinkah memberlakukan bauran cara berbisnis yang kemudian menghasilkan satu business model baru?

content creator yogasdesign

Photo by yogasdesign

Contohnya, saat melakukan produksi web series, coba perkirakan apakah dari jalannya produksi dapat menghasilakan konten lain, seperti: behind the scenes, vlog, testimoni, podcast, funny moment, dan lain sebagainya. Lantas dari situ bisa ditentukan pula mana yang bisa dinikmati lewat saluran masing-masing.

Misalnya untuk untuk produk konten utama dapat dikmati dengan cara digital download. Kemudian behind the scenes akan dimuat pada kanal premium subscriber. Lalu podcast berupa interview atau obrolan bisa diunggah ke Spotify dan mengambil keuntungan dari Spotify Ads. Serta untuk vlog dimuat dalam Youtube dan menuai benefit dari adsense , dan seterusnya dengan kemungkinan-kemungkinan konten serta sub-konten yang lain.

Jadi untuk satu produksi konten saja, seorang produser dapat mulai memilah-milah segala potensi dan peluang untuk menghasilkan lebih banyak keuntungan. Selanjutnya semuanya menjadi sistem yang dipermanenkan, yang berhubungan dan terintegrasi saling memberi hasil dan akhirnya membentuk ekosistem.

Sesederhana itukah? Pastinya tidak. Akan banyak sektor-sektor yang terdampak. Seperti soal legalitas menyangkut talent, hingga permasalahan rentang waktu pra produksi hingga post produksi dan tentu saja human resources serta peralatan produksi. Tapi, jika tidak mulai dicoba dari bentuk sederhana atau bahkan dengan metode lain, maka akan banyak kapasitas dan kesempatan yang hanya menjadi fosil tak tersentuh.

Kevin Benedict, seorang Senior Analyst for Digital Transformation and Mobility, pernah mengutarakan, bahwa transformasi digital bukanlah platform teknologi. Ini juga bukan solusi baru. Ini adalah cara baru melakukan bisnis.

Jadi, mulailah menyelami bisnis di era digital dengan metode baru, paradigma baru dan cara berpikir baru.(*)

——

Featured photo: Background illustration by seekpng.com, Right hand illustration by pikpng.com, Left hand illustration by freeiconspng.com