Viral Marketing dan Content Spreading, Mana Lebih Menguntungkan?

Kemunculan bayi baru bernama viral marketing begitu antusias disambut. Ramai-ramai mereka mempraktikkan metode penyebaran pesan ini dengan mempertajam kreatifitas pada konten. Tapi tak semua menemukan hasil yang signifikan. Karena memang makin banyaknya konten yang sengaja dirancang agar mendapatkan efek viral justru membuat publik makin selektif memilih konten mana yang layak dibagi-bagikan ulang hingga menyebar seluas-luanya. Bahkan tak sedikit yang juga berefek bumerang bagi pembuat konten dengan terbentuknya stigma maupun sentimen negatif.

viral marketing

https://pikwizard.com

Kemajemukan konten media yang tersebar di dunia maya mau tak mau membuat praktisi komunikasi maupun pemasaran harus menemukan formula baru lagi. Dengan mengambil inspirasi dari keberadaan viral marketing, metode penyebaran pesan juga bisa di proses turunan tujuan komunikasinya. Salah satu yang mengemuka adalah dengan “cukup” membenamkan tujuan tersebar luas tanpa terbebani misi untuk viral. Atau degan kata lain disapa dengan istilah content spreading.

Seperti apa persisnya? Intinya adalah membuat konten atau muatan materi yang dimiliki satu institusi ataupun brand seluas mungkin terlihat oleh publik yang sudah ditentukan segmennya. Content spreading tidak memfokuskan pada tujuan “link click” maupun dibagi-bagikan ulangnya konten oleh publik. Konten yang termuat memang tak sekadar tautan berita ataupun segala jenis media seperti foto dan video, tapi juga bermacam brand maupun corporate activity, seperti penyelenggaraan event, CSR activity, creative content, dll. Relatif tidak ada perbedaan dengan muatan konten pada aktifitas viral marketing.

Membuat publik sasaran aware dengan keberadaan brand adalah default objective yang menjadi dasar dilakukannya content spreading. Dari situ bisa disisipkan juga beberapa tujuan komunikasi yang ingin disampaikan. Seperti memperlihatkan eksistensi kepada rekanan bisnis seperti calon sponsor atau bahkan calon investor.

Nampaknya memang metode content spreading ini menjadi lebih tepat guna dibanding viral marketing dalam tujuan pemasaran yang berbeda. Viral marketing lebih menitikberatkan pada tujuan web visitor dan aktifitas membagikan ulang konten yang diproduksi, termasuk juga biasanya berujung pada percepatan angka-angka pada media analytic data, dan kemudian juga sedikit banyak berpengaruh pada pengakuan publik terhadap brand maupun produk.

Dalam content spreading aktifitas yang dilakukan seperti tidak mempedulikan tujuan “link click” ataupun menggantungkan harapan kepada publik untuk membagikan ulang . Yang dilakukan adalah mengusahakan agar publik yang berkepentingan ataupun punya korelasi dengan brand terjangkau dalam aktifitas penyebaran pesan. Apakah nantinya sekadar melihat dalam timeline media sosial sambil lewat, atau beraktifitas lebih dalam dengan melalukan investigasi terhadap eksistensi brand tersebut. Dari sini jelas bahwa formula ini lebih cocok untuk aktifitas branding, atau yang banyak didefiniskan sebagai proses membenamkan brand pada benak dan hati konsumen melalui berbagai cara yang memberikan dampak bagi kehidupan konsumen tersebut. Lalu biasanya dilanjutkan dengan menjalankan program positioning.

Memang, content spreading ini akan lebih banyak upaya melakukan sendiri aktifitas penyebarannya. Utamanya dengan menggunakan social media ads dengan memilah-milah audiens yang dituju secara spesifik. Selain itu saluran komunikasi dengan chat engine yang sudah menyediakan fitur group chat ataupun channel, bisa membantu perluasan sebaran konten. Dari jenis kelamin, usia, personal interest, geografi, dan tentunya pekerjaan. Dalam viral marketing, selain juga mengandalkan social media booster, upaya yang paling banyak meguras tenaga adalah kreatifitas dan perencanaan konten yang terbebani dengan misi viral. Keharusan untuk memenuhi standard konten berpotensi viral pun belum tentu punya hasil yang signifikan.

Dari paparan sederhana ini, secara umum dapat diasumsikan bahwa viral marketing lebih mengadopsi prinsip hard selling, sedangkan content spreading pada prinsip soft selling. Jadi, tak usah kecewa lagi bagi yang gagal dalam merancang viral content, karena masih banyak varian-varian ataupun formula baru dalam rangka membesarkan brand maupun nama korporasi tanpa harus “mengemis” dalam lingakaran dunia viral.